Add your promotional text...
“Kelainan Seksual dan Perceraian: Tinjauan Hukum Positif dan Islam di Indonesia”
Suatu masalah yang mulai muncul dalam praktik hukum adalah apakah kelainan seksual — misalnya homoseksualitas atau penyimpangan orientasi/kecenderungan seksual — bisa dijadikan alasan yang sah bagi perceraian.
9/17/20253 min read


“Kelainan Seksual dan Perceraian: Tinjauan Hukum Positif dan Islam di Indonesia”
Pendahuluan
Pernikahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi yang beragama Islam.
Suatu masalah yang mulai muncul dalam praktik hukum adalah apakah kelainan seksual — misalnya homoseksualitas atau penyimpangan orientasi/kecenderungan seksual — bisa dijadikan alasan yang sah bagi perceraian.
Artikel ini akan membahas kerangka hukum positif, ketentuan syariah/Islam, putusan-pengadilan relevan, serta implikasi sosial dan hukum dari konsep tersebut.
Kerangka Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1/1974)
Pasal-pasal yang mengatur kewajiban suami-istri, hak dan kewajiban, serta hal-hal yang bisa menjadi sebab perceraian.
UU tidak secara eksplisit menyebut “kelainan seksual” atau “orientasi seksual” sebagai sebab perceraian.
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Untuk pasangan Muslim, KHI mengatur berbagai alasan perceraian. Misalnya Pasal 116 huruf-(f) yang menyebut “perbuatan zina atau asusila sulit disembuhkan” sebagai salah satu sebab perceraian.
Termasuk unsur “tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai suami/istri” bisa dijadikan tolok ukur.
Putusan Pengadilan*
Ada penelitian dan beberapa putusan Pengadilan Agama yang menyebut bahwa homoseksualitas atau kelainan seksual bisa dianggap “tidak dapat melaksanakan kewajiban seksual” sehingga merusak keharmonisan rumah tangga. Repository UIN Jakarta+1
Contohnya, dalam suatu gugatan cerai, penggugat menyebut bahwa tergugat sejak awal tidak melakukan hubungan seksual yang diinginkan (nafkah batin), akibat orientasi atau perilaku seksual yang dianggap menyimpang. Repository UIN Jakarta+1
Batasan Ketiadaan Peraturan yang Spesifik
Tidak ada undang-undang yang secara tegas menyebut “homoseksualitas” atau “orientasi seksual” sebagai sebuah alasan cerai.
Pengkategorian menjadi “penyimpangan seksual”, “perilaku asusila”, atau “cacat/kesulitan dalam melaksanakan kewajiban suami/istri” masih sangat terbuka interpretasi. Repository Raden Intan+2Berugak Jurnal+2
Tinjauan Hukum Islam
Dalam Islam, perkawinan dianggap sebagai ikatan suci yang melibatkan aspek ibadah, sosial, moral, dan biologis.
Kewajiban antara suami-istri termasuk pemenuhan nafkah fisik (termasuk hubungan seksual) serta tanggung jawab moral dan emosional.
“Perbuatan zina atau asusila” dalam KHI menjadi satu sebab perceraian; jika kelainan seksual dianggap sebagai bentuk asusila/penyimpangan yang mempengaruhi kewajiban biologis/nifaq batin, maka ada ruang bagi hakim Islam untuk menerima gugatan cerai berdasarkan alasan tersebut. Repository UIN Jakarta+2Repository Raden Intan+2
Namun, ulama dan hakim berbeda pendapat mengenai apakah orientasi seksual semata (tanpa tindakan) cukup dijadikan dasar, atau harus berupa tindakan nyata yang merusak fungsi rumah tangga.
Contoh Kasus & Putusan
Salah satu penelitian/paper menyebut kasus di Pengadilan Agama Bogor: Penggugat mengajukan cerai dengan dalil bahwa tergugat sejak awal menolak atau tidak melaksanakan kewajiban hubungan badan sesuai keinginan istri, termasuk melakukan praktik yang dianggap menyimpang (misalnya oral sex atau hubungan melalui dubur). Dalam hal ini, majelis hakim mengabulkan gugatan cerai tersebut berdasarkan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. Repository UIN Jakarta
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa beberapa putusan menganggap bahwa orientasi atau perilaku seksual menyimpang bila sudah mempengaruhi hak asuh, keharmonisan rumah tangga, dan pemenuhan kewajiban suami-istri dapat menjadi pertimbangan hakim. Repository UIN Imam Bonjol+1
Pro & Kontra / Tantangan
Pro:
Jika salah satu pihak memang tidak dapat melaksanakan kewajiban biologisnya (nafkah batin), maka pasangan lain dirugikan; hukum harus memberikan remedi untuk korban.
Perilaku seksual yang tidak disembuhkan atau yang dianggap menyimpang bisa terus-menerus menjadi sumber konflik dalam rumah tangga dan merusak tujuan utama pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Kontra / Tantangan:
Bukti: Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki “kelainan seksual” secara sah dan bahwa kelainan tersebut memang menghalangi kewajiban perkawinan?
Hak privasi: Mengungkap orientasi seksual seseorang bisa menjadi pelanggaran privasi, stigma, pelecehan.
Potensi diskriminasi: Menetapkan orientasi/kecenderungan seksual sebagai alasan cerai bisa memperkuat stigma terhadap kelompok LGBT.
Interpretasi hukum yang berbeda: Hakim, ulama, masyarakat memiliki pemahaman berbeda terhadap “perbuatan asusila” atau “penyimpangan”, sehingga keputusan bisa sangat bervariasi antar daerah.
Kesimpulan
Secara hukum positif maupun hukum Islam di Indonesia, belum ada ketentuan yang secara eksplisit menyebut orientasi seksual atau kelainan seksual sebagai alasan perceraian.
Namun, dalam praktiknya, jika kelainan seksual menyebabkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajiban perkawinan (termasuk kewajiban seksual), ada putusan pengadilan yang menerima dalil tersebut sebagai alasan perceraian.
Karena itu, bisa dikatakan: ya, kelainan seksual potensial bisa menjadi alasan sah untuk perceraian, tergantung pada bagaimana hal itu dibuktikan dan bagaimana hakim memandang kasus dalam konteks norma agama dan sosial setempat.
Saran
Perlu adanya kejelasan peraturan: UU atau regulasi tambahan yang secara spesifik mengatur bagaimana orientasi/penyimpangan seksual dipandang dalam hukum perkawinan dan perceraian.
Standar pembuktian yang adil dan menghormati privasi: agar tidak terjadi penyalahgunaan tuduhan atau stigma.
Pendidikan masyarakat dan aparat hukum untuk menghindari diskriminasi; pendekatan yang lebih sensitif terhadap isu orientasi seksual.