Permasalahan Hukum Waris Islam: Perbedaan Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Pendapat Ulama

Hukum waris Islam adalah salah satu cabang hukum yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam. Hukum ini mengatur pembagian harta peninggalan seorang pewaris kepada ahli warisnya berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan interpretasi antara ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dengan pendapat para ulama yang berlandaskan kitab-kitab klasik fiqih. Artikel ini akan membahas permasalahan hukum waris Islam dan menganalisis perbedaan tersebut

1/15/20252 min read

Permasalahan Hukum Waris Islam: Perbedaan Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Pendapat Ulama

Hukum waris Islam adalah salah satu cabang hukum yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam. Hukum ini mengatur pembagian harta peninggalan seorang pewaris kepada ahli warisnya berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan interpretasi antara ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dengan pendapat para ulama yang berlandaskan kitab-kitab klasik fiqih. Artikel ini akan membahas permasalahan hukum waris Islam dan menganalisis perbedaan tersebut.

Prinsip Dasar Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam didasarkan pada Al-Qur’an, Hadis, dan ijma' ulama. Surah An-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176 menjadi landasan utama pembagian warisan. Prinsip dasar hukum waris Islam adalah keadilan, keseimbangan, dan proporsionalitas dalam pembagian harta warisan sesuai dengan hubungan kekerabatan.

Dalam pembagian warisan, ahli waris dikelompokkan menjadi:

1. Ahli waris nasabiyah, yaitu mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris seperti anak, orang tua, dan saudara kandung.

2. Ahli waris sababiyah, yaitu mereka yang memiliki hubungan pernikahan dengan pewaris seperti suami atau istri.

Ketentuan Waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI merupakan kodifikasi hukum Islam yang berlaku sebagai pedoman di pengadilan agama di Indonesia. KHI mengatur hukum waris secara lebih praktis dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Beberapa ketentuan utama dalam KHI:

1. Bagian ahli waris wanita dan pria: KHI mengadopsi prinsip bahwa bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan, sebagaimana diatur dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa’ ayat 11.

2. Ahli waris pengganti: Pasal 185 KHI mengatur bahwa cucu dapat menggantikan posisi orang tuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan bagian warisan. Ketentuan ini dikenal sebagai konsep "ahli waris pengganti" yang tidak diatur secara eksplisit dalam fiqih klasik.

3. Harta bersama suami-istri: KHI mengakui pembagian harta bersama terlebih dahulu sebelum membagi harta warisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 dan 97.

Pendapat Ulama dalam Fiqih Klasik

Dalam kitab-kitab fiqih, pembagian warisan merujuk secara ketat pada teks-teks Al-Qur'an dan Hadis tanpa modifikasi. Beberapa perbedaan utama dengan KHI adalah:

1. Ahli waris pengganti: Fiqih klasik tidak mengenal konsep ahli waris pengganti. Jika seorang ahli waris telah meninggal dunia sebelum pewaris, maka hak warisnya dianggap gugur dan tidak diteruskan kepada keturunannya.

2. Harta bersama suami-istri: Dalam fiqih klasik, tidak ada pembagian harta bersama. Harta yang dimiliki oleh suami atau istri dianggap terpisah, sehingga yang diwariskan hanyalah harta milik pewaris.

3. Penyesuaian dengan kondisi lokal: Fiqih klasik bersifat universal tanpa mempertimbangkan adat atau hukum lokal, berbeda dengan KHI yang mempertimbangkan adat-istiadat di Indonesia.

Permasalahan yang Muncul

1.

Dualisme hukum: Perbedaan antara KHI dan fiqih klasik sering menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Beberapa pihak menganggap KHI sebagai bentuk penyimpangan dari syariat karena terdapat modifikasi yang tidak ditemukan dalam teks-teks klasik.

2.

3.

Konflik ahli waris: Kasus-kasus seperti penerapan ahli waris pengganti atau pembagian harta bersama sering menjadi sumber konflik, terutama bagi keluarga yang lebih condong pada pendapat fiqih klasik.

4.

5.

Keadilan substantif: Sebagian masyarakat merasa ketentuan KHI lebih memberikan keadilan substantif karena mempertimbangkan realitas sosial dan kebutuhan keluarga modern, sedangkan fiqih klasik dianggap terlalu kaku dalam beberapa hal.

6.

Upaya Penyelesaian

1. Peningkatan literasi hukum: Masyarakat perlu memahami dasar-dasar hukum waris Islam, baik dari KHI maupun fiqih klasik, untuk mengurangi kesalahpahaman.

2. Mediasi di pengadilan agama: Mediasi dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan sengketa waris dengan mempertimbangkan kesepakatan keluarga.

3. Ijtihad modern: Ulama perlu terus melakukan ijtihad untuk menjawab tantangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariat.

Kesimpulan

Hukum waris Islam memiliki prinsip yang jelas berdasarkan syariat, tetapi interpretasinya dapat berbeda antara Kompilasi Hukum Islam dan fiqih klasik. Perbedaan ini mencerminkan upaya untuk menyesuaikan hukum Islam dengan kebutuhan lokal. Meski demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami kedua pendekatan ini dan mencari solusi yang adil sesuai dengan konteks masing-masing kasus.